“Jangan pernah sekali-kali melupakan sejarah”, kalimat dari Presiden RI pertama, Ir. Soekarno dalam salah satu pidatonya begitu terngiang dan menjadi wejangan bagi generasi muda. Pasalnya, sejarah sendiri memang menjadi bagian tidak terpisahkan dalam pembangunan negeri ini. Ada banyak sejarah yang mesti kita ketahui, salah satunya adalah sejarah pendidikan di Indonesia hingga tercetusnya Hari Pendidikan Nasional dan juga para tokoh yang berperan didalamnya.
Sejarah Pendidikan di Indonesia memiliki catatan panjang, di mana Pendidikan Indonesia telah ada sejak tahun 1901, ketika Belanda menduduki Indonesia. Nah, salah satu yang menjadi pelopor sentral dalam dunia pendidikan di Indonesia adalah Ki Hadjar Dewantara.
Sosok Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara memiliki nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang lahir di pakualaman, 2 Mei 1889. Kemudian pada tanggal 3 Februari 1928, beliau mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara, yang berarti Bapak Pendidik Utusan Rakyat yang Tak Tertandingi dalam menghadapi kolonialisme Belanda.
Sama seperti namanya, beliau dikenal karena jasa-jasanya yang telah memperjuangkan hak pendidikan pada masa penjajahan dan melawan sistem pendidikan Hindia-Belanda. Lantas, seperti apakah fakta-fakta menarik lainnya dari seorang Ki Hadjar dewantara ini? Berikut adalah fakta tentang Ki Hadjar Dewantara:
1. Masa Pendidikan
Ki Hadjar Dewantara atau yang memiliki nama asli Suwardi Suryaningrat merupakan kaum bangsawan yang berhak mengenyam pendidikan di sekolah dasar Belanda atau Europeesche Lagere School (ELS). Setelah lulus dari ELS di tahun 1904, beliau ditawari untuk melanjutkan pendidikannya sebagai mahasiswa di STOVIA (School tot Opleiding Van Indische Artsen) atau sekolah dokter Jawa di Jakarta.
Pada awalnya beliau menerima tawaran tersebut dan sempat merasakan bangku pendidikan STOVIA sekitar tahun 1905 hingga 1910. Namun karena kerap sakit, ia tidak menamatkan sekolah tingginya. Sejumlah sumber lain mendapati pemerintah Belanda-lah yang memutus beasiswa pendidikannya pada 1910. Kendati demikian, ia gemar mencari ilmu di berbagai tempat, seperti dikutip dari Kumpulan Pahlawan Indonesia Terlengkap oleh Mirnawati.
Sebagai figur dari keluarga bangsawan Pakualaman, Soewardi Soerjaningrat memiliki kepribadian yang sederhana dan sangat dekat dengan rakyat (kawula). Jiwanya menyatu melalui Pendidikan dan budaya lokal (Jawa) guna mencapai kesetaraan sosial-politik dalam masyarakat kolonial. Kekuatan-kekuatan inilah yang menjadi dasar Soewardi Soerjaningrat dalam memperjuangkan kesatuan dan persamaan lewat nasionalisme kultural sampai dengan nasionalisme politik.
2. Profesi Ki Hadjar Dewantara
Setelah dinyatakan tidak bisa melanjutkan pendidikan kedokteran di STOVIA, lantas tak membuat perjalanan beliau berhenti sampai di sana. Beliau belajar beragam hal baru, termasuk banting setir menjadi jurnalis dan bergabung dengan berbagai macam organisasi pergerakan nasional seperti Sarekat Islam, Budi Utomo, dan Indische Partij.
Kiprahnya di dunia jurnalisme seperti surat kabar dan majalah yaitu Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timur, dan Poesara. Tulisannya dinilai sangat komunikatif, tajam, dan patriotik, sehingga mampu membangkitkan semangat anti penjajahan.
Sementara di sisi lain, beliau juga sangat aktif di berbagai organisasi sosial dan politik. Ketika tahun 1908, Ki Hadjar Dewantara aktif di seksi propaganda organisasi Boedi Oetomo untuk menyosialisasikan dan memebangkitkan kesadaran masyarakat Indonesia tentang pentingnya kesatuan dan persatuan dalam berbangsa dan bernegara.
3. Mendirikan Indische Partij
Pada 25 Desember 1912, beliau membentuk Indische Partij, yakni partai politik nasionalisme pertama bersama Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo, yang dijuluki sebagai Tiga Serangkai. Tujuan dari partai ini yaitu untuk kemerdekaan Indonesia.
Namun sayangnya, partai ini ditolak Belanda karena dianggap dapat menumbuhkan rasa nasionalisme rakyat. Setelah pendaftaran status badan hukum Indische Partij ditolak, Ki Hadjar Dewantara ikut membentuk Komite Boemipoetra pada November 1913. Komite ini sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa.
Komite Boemipoetra melancarkan kritik kepada pemerintah kolonial Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut. Seperti yang sudah kami sebelumnya.
4. Hukuman Pengasingan Ki Hadjar Dewantara Ke Belanda
Kritikan pedas yang dilontarkan Ki Hadjar Dewantara berhasil membuat Belanda marah pemerintah Belanda, sehingga Ki Hadjar Dewantara diasingkan ke Pulau Bangka. Tulisan Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo yang diniatkan untuk membantunya juga dianggap Belanda sebagai tulisan menghasut rakyat, sehingga keduanya juga diasingkan. Douwes Dekker dibuang ke Kupang, sementara dr. Cipto Mangunkusumo ke Pulau Banda.
Hingga suatu hari, mereka mengajukan usul pada Belanda agar bisa dibuang ke negeri Belanda dengan dalih mereka dapat belajar banyak hal di sana. Akhirnya pada Agustus 1913, permintaan mereka dikabulkan.
Perjuangan mereka rupanya tidak berhenti, di sinilah tiga serangkai berhasil membuat himpunan mahasiswa Indonesia di negeri Belanda untuk mengobarkan semangat kebangsaaan dan cita-cita untuk merdeka. Justru di masa pengasingan ini, Ki Hadjar Dewantara banyak belajar mengenai sistem pendidikan dan pengajaran.
5. Mendirikan Taman Siswa
Kesempatan diasingkan ke Belanda dimanfaatkan Ki Hadjar Dewantara sebaik mungkin untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran di sana. Beliau sampai memperoleh Europeesche Akte atau ijazah pendidikan bergengsi di Belanda. Lalu, ia kembali ke tanah air pada 1918 dan fokus membangun pendidikan sebagai bagian alat perjuangan meraih kemerdekaan.
Lama berkiprah di dunia tulis menulis dan organisasi, Soewardi memutuskan untuk kembali memfokuskan dirinya pada dunia pendidikan. Karirnya sebagai seorang pendidik, diawali dengan menjadi guru di sekolah Adhi Darmo yang didirikan kakaknya Raden Mas Soerjopranoto. Setelah satu tahun Soewardi menjadi guru, muncullah ide gagasannya untuk mendirikan sekolah sendiri.
Akhirnya, pada 3 Juli 1922, Soewardi memutuskan untuk mendirikan sekolah baru yang Ia beri nama National Onderwijs Institut “Taman Siswa”. Sekolah yang didirikannya tersebut, merupakan bentuk protesnya terhadap sekolah yang didirikan oleh kolonial Belanda yang sebenarnya tidak sesuai dengan kebudayaan bangsa Indonesia.
Lembaga pendidikan ini memberikan kesempatan bagi para pribumi kelas bawah untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda. Perguruan ini mengubah metode pengajaran kolonial yaitu dari sistem pendidikan “perintah dan sanksi” kependidikan pamong yang sangat menekankan pendidikan mengenai pentingnya rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air serta berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Selama berjalannya waktu, Tamansiswa semakin berkembang. Ki Hadjar Dewantara pun dikenal dengan pelopor pendidikan Indonesia. Hal tersebut membawanya pada jabatan sebagai Menteri Pengajaran pada awal kemerdekaan dan juga anggota DPR pada pemerintahan RIS pada 1949 menjelang 1950 (Republik Indonesia Serikat).
Namun pada tahun 1950, Ki Hadjar memilih untuk mengurus Tamansiswa dan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai anggota DPR. Di sisi lain, dirinya juga masih aktif menulis di berbagai media masa untuk menuangkan pemikirannya, diantaranya mengenai Tri Pusat Pendidikan yang diusungnya pada Taman Siswa maupun mengenai pendidikan bagi kaum perempuan. Kegiatan-kegiatan tersebutlah yang mengisi hari-hari Ki Hadjar, hingga beliau wafat pada 26 April 1959.
Nah, demikian itu dia beberapa fakta tentang Ki Hajar Dewantara yang harus kalian ketahui. Semoga perjuangan dari Ki Hadjar Dewantara dalam dunia pendidikan selalu tertanam dengan baik, sehingga akan terus tertanam semangat untuk mengenyam pendidikan.